Pada abad ke-3
H (awal dari periode pertengahan dalam perkembangan tafsir al-Qur’an), Islam
telah menyebar ke berbagai penjuru dunia yang mempunyai keanekaragaman budaya,
bahasa dan pengetahuannya. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi
perkembangan ilmu pengetahuan di dalam Islam, termasuk di dalamnya ilmu penafsiran
al-Qur’an.
Tradisi
penafsiran al-Qur’an dengan model bi al-ma’tsur yang dahulu sangat
populer kini sudah mulai mengalami pergesaran ke arah model bi al-ra’y. Ulama-ulama
tafsir tidak lagi sekedar mengutip riwayat-riwayat yang ada, namun juga mulai memberi
ruang yang cukup luas dan bebas untuk pendapat mereka sendiri. Penafsiran
al-Qur’an menjadi lebih hidup dan berwarna karena dilakukan berdasarkan
keahlian, kecenderungan keilmuan dan bahkan kecenderungan paham keagamaan
masing-masing penafsir yang kemudian berimplikasi pada perbedaan corak
penafsiran yang ada.[1]
Artinya,
bentuk-bentuk penafsiran yang diterapkan dengan menggunakan salah satu dari
empat metode sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya akan menghasilkan
corak-corak penafsiran sesuai dengan kecenderungan dan kemauan masing-masing mufassir.
Menurut
Nashruddin Baidan, corak penafsiran adalah suatu warna, arah atau kecenderungan
pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.[2]
Diantara
beberapa corak penafsiran yang berkembang pada waktu itu dan bahkan digunakan sampai
sekarang adalah linguistik, fikih, kalam atau teologi, filsafat, sufistik dan ‘ilmi
atau sains.[3]
BACA JUGA : SEKILAS TENTANG TAFSIR AL QURTHUBI AL JAMI' LI AHKAM ALQURAN (BAGIAN I)
Al-Jāmi’
li Ahkām al-Qur’ān karya
al-Qurthubī merupakan salah satu karya terbesar dalam bidang tafsir al-Qur’an
yang bercorak fikih. Menonjolnya corak fikih dalam karya tersebut bukanlah
merupakan sesuatu yang ganjil dan aneh karena memang dari judulnya saja secara
eksplisit sudah mengarah kepada hal tersebut yaitu Al-Jāmi’ li Ahkām
al-Qur’ān yang berarti menghimpun hukum-hukum fikih yang ada pada ayat-ayat
al-Qur’an. Namun, meski bercorak fikih, tafsir al-Qurthubī adalah sebuah karya
yang netral dan tidak fanatik kepada salah satu madzhab fikih, termasuk madzhab
Maliki yang dianut oleh pengarangnya.
Berdasarkan
fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh
al-Qurthubī cukup objektif dan didukung oleh argumen yang kuat serta fakta
sejarah yang valid. Inilah salah satu keunggulan dan keistimewaan tafsir
al-Qurthubī terutama dalam kaitannya dengan pembahasan hukum-hukum fikih.
Selain itu, tafsir ini mempunyai keunggulan lain karena di dalam menafsirkan
suatu ayat penulisnya selalu mencoba mengunggulkan sebagian ijtihad atas
sebagian yang lain.[4]
Dari segi
bentuk tafsir yang disuguhkan maka jelas bahwa tafsir al-Qurthubī adalah
termasuk tafsir bi al-ra’y yang terfokus pada corak fikih dan
menggunakan metode tahlili atau analitis.[5] Kitab tafsir ini
merupakan salah satu dari sekian banyak kitab tafsir yang lahir pada periode
pertengahan sejarah perkembangan tafsir.
Tafsir fikih
lebih populer disebut dengan Tafsīr Āyāt al-Ahkām atau Tafsīr
Ahkām karena lebih berorientasi pada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an,
keberadaan tafsir dengan model seperti ini cenderung lebih mudah
diterima oleh para ulama tafsir. Tafsir fikih berusia sangat tua karena
kelahirannya bersamaan dengan kelahiran tafsir Al-Qur’an itu sendiri. [6]
Secara umum
tafsir fikih atau tafsir hukum dapat diartikan sebagai tafsir yang ditulis oleh
seorang ahli hukum fikih yang berorientasi pada persoalan-persoalan hukum Islam
dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushūl al-Fiqh.[7]
Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hukum, al-Qurthubī melakukannya
begitu luas dan dalam, sehingga wajar jika tafsirnya ini kemudian dilabeli
dengan tafsir yang bercorak fikih. Ia
banyak mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, menunjukkan berbagai
pendapat dan perbedaan yang ada lalu mengomentarinya. Akan tetapi, meski
sering mengetengahkan perbedaan pendapat yang ada, ia tidak terkesan fanatik
terhadap madzhabnya karena tak jarang ia justru lebih condong terhadap pendapat
dari madzhab lainnnya.
Salah satu bukti sikap netral al-Qurthubī dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum yang di dalamnya terdapat khilafiyyah dapat kita lihat
ketika ia menafsirkan firman Allah berikut ini:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur
dengan istri-istri kamu”. Qs. Al-Baqarah
[2]: 187.
Ketika ia membahas masalah kedua belas dari masalah yang terkandung
dalam ayat ini, setelah sebelumnya telah mengemukakan perbedaan pendapat yang
ada di kalangan para ulama perihal bagaimana hukumnya orang yang makan di siang
hari pada bulan Ramadhān karena lupa, termasuk diantaranya pendapat Imām Mālik
yang mengatakan batal dan wajib menggantinya. Al-Qurthubī berkata, “Menurut
pendapat selain Imām Mālik, tidaklah batal setiap orang yang makan karena lupa
akan puasanya. Menurut pendapat saya pribadi, ini adalah pendapat yang benar
dan jumhur, bahwa barangsiapa yang makan atau minum karena lupa maka ia
tidak wajib menggantinya dan puasanya tetap sempurna.[8] Hal ini
berdasarkan pada hadis Abū Hurairah berikut ini:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ،
حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِذَا
نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ
وَسَقَاهُ»[9]
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdān, telah mengabarkan
kepada kami Yazīd bin Zurai’, telah menceritakan kepada kami Hisyām, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Sīrīn, dari Abū Hurairah r.a. dari Nabi
saw, beliau bersabda, "Apabila (orang yang berpuasa) lupa, lalu ia makan
dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Allah
memberinya makan dan minum." HR. Bukhari.
Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa al-Qurthubī tidak
sependapat dengan imam madzhabnya sendiri dalam permasalahan ini. Hal ini
menunjukkan bahwa ia terkesan lebih netral dan tidak fanatik terhadap
madzhabnya.
[1] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta:
Adab Press, 2014), hlm 90.
[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 388.
[3] Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta:
Adab Press, 2014), hlm 90.
[4] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 213.
[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir... hlm. 417.
[6] Ahmad Izzan, Metodologi
Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2011), hlm. 200.
[7] Tim RADEN, Al-Qur’an
Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah (Kediri: Lirboyo Press,
2013), hlm. 244.
[8] Imam al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 3 (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 200.
[9] Al-Imam al-Hāfidz Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhāri, Shahīh
al-Bukhāri, Kitab Puasa, Bab Orang yang Berpuasa Jika Makan atau Minum
Karena Lupa (Riyadh: Bait al-Afkār, 1998), hlm. 366.
0 Comments