Nama lengkap beliau adalah Imām Abū ‘Abdullah
Muhammad bin Ahmad bin Abī Bakr bin Farh al-Ansharī al-Khazrajī al-Andālusī
al-Qurthubī al-Malikī al-Mufassir. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang saleh,
arif dan zuhud yang selalu disibukkan dengan urusan
akhirat. Salah satu bukti yang menunjukkan betapa sederhana gaya hidupnya ini
dapat dilihat dari kebiasaannya dalam berpakaian, bahwa beliau selalu memakai satu
baju dan songkok. Selain itu, beliau juga merupakan seorang yang alim, yang
selalu menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah dan melakukan hal-hal
yang bermanfaat seperti mengarang kitab.[1]
Berikut akan dipaparkan secara lebih detail
mengenai latar belakang keluarga dan pendidikan beserta kitab-kitab karya
beliau.
1.
Latar Belakang Keluarga
Imam
Al-Qurthubī dilahirkan di Cordoba, Andalusia atau wilayah Spanyol sekarang. Beliau
diperkirakan lahir pada tahun 580 H pada masa
pemerintahan al-Muwahhidīn yang berpusat di Afrika Barat dan Bāni Ahmar di Granada (1232—1492
M).[2]
Mengenai latar belakang keluarga, penulis belum
menemukan data yang jelas terkait bagaimana keadaan keluarga al-Qurthubī,
seperti mengenai nama ayah, ibu dan saudara-saudaranya.
Bahkan di dalam Kitab Tafsīr
wa al-Mufassirūn[3] karya Muhammad
Husain Adz-Dzahabī, yang merupakan salah satu kitab induk dalam kajian tafsir,
penulis tidak menemukan penjelasan terkait latar belakang kehidupan keluarga
Imam al-Qurthubī
ini.
Imam
Al-Qurthubī meninggal dunia di Mesir pada malam senin, tepatnya pada tanggal 9
Syawal tahun 671 H. Makamnya berada di Almenia, di Timur sungai Nil dan sering diziarahi
oleh banyak orang.[4]
2.
Latar Belakang Pendidikan
Imam
Al-Qurthubī mempelajari bahasa Arab, nahwu, ilmu balaghah, sya’ir, al-Qur’an,
ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu qirā’at, fikih dan berbagai macam cabang keilmuan
lainnya kepada ulama-ulama di tempat kelahirannya seperti Abū Ja’far Ahmad (Abū Hujjah) yang menulis syarh tentang shahihain dan Rabi’ bin ‘Abd al-Rahmān bin Ahmad bin Rabi’ bin Ubay.[5]
Setelah
selesai menimba ilmu di kota kelahirannya, diperkirakan sebelum tahun 648 H, beliau memutuskan untuk melakukan rihlah ‘ilmiyyah sebagaimana
tradisi ulama pada masa awal Islam dahulu dengan pergi ke Iskandariyyah, Mesir. Di Iskandariyyah, Imam al-Qurthubī bertemu dengan
ulama-ulama sekitar yang mumpuni dalam bidang hadis dan fikih seperti Abū Muhammad ‘Abd al-Wahhāb bin Rawwāj (w.
648 H), dan Abī al-‘Abbas bin Umar
al-Qurthubī yang menulis sebuah syarh untuk kitab al-Musnad al-Shahih karya Muslim
ibn Hajjaj.
Setelah dari Iskandariyyah, Imam al-Qurthubī
melanjutkan perjalanannya kembali menuju Kairo. Di Kairo, Imam al-Qurthubī
banyak menerima ilmu dari ulama-ulama setempat seperti Ibn al-Jummaizī Ali ibn
Hibātullah dan al-Hasan al-Bakrī yang merupakan ulama hadis. Setelah itu, Imam
al-Qurthubī memutuskan untuk tinggal dan menetap di daerah Almenia di sebelah
kota Asyut hingga akhir hayatnya.[6]
Dari
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa perjalanan
Imam al-Qurthubī dalam mencari ilmu dan belajar kepada ulama-ulama terkenal
pada zaman tersebut terbagi ke dalam dua fase yaitu fase Cordoba dan fase
Mesir.
Selama hidup dan mencari ilmu di
tanah kelahirannya, Imam al-Qurthubī mempunyai beberapa guru yang sangat berpengaruh
pada keluasan ilmu yang dimilikinya, diantaranya adalah:
1)
Abū Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad
Al-Qoisī yang dikenal dengan Ibnu Abī Hijjah. Beliau adalah seorang al-Muqri
dan ahli nahwu. Wafat pada tahun 643 H, dan beliau termasuk guru pertama
Al-Qurthubī.
2)
Abū Sulaimān Robi’ bin ‘Abdurrahmān bin Ahmad
al-Asy’arī al-Qurthubī. Beliau adalah seorang hakim di Andalusia hingga jatuh
ke tangan Perancis. Beliau berpindah ke Syubailiah/Kota Isabel hingga meninggal
di sana pada tahun 632 H.
3)
Abū ‘Āmir Yahyā bin ‘Abdurrahmān bin Ahmad
al-Asy’arī, seorang ahli fikih, hadis, kalam dan ushul fikih. Beliau wafat
tahun 639 H.
4)
Ābū Hasan ‘Alī bin ‘Abdullah bin Muhammad bin
Yūsuf al-Anshārī al-Qurthubī al-Malikī, yang dikenal dengan Ibnu Quthral.
Beliau pernah menjabat sebagai seorang hakim dan wafat pada tahun 651 H di
Marakisy.
5)
Abū Muhammad ‘Abdullah bin Sulaimaān bin Dāud
bin Khauthillah al-Ansharī al-Andalusī. Beliau terkenal sebagai seorang ahli
hadis di Andalusia, juga seorang penyair dan ahli nahwu. Beliau pernah menjadi
Qadhī di Cordoba dan tempat lainnya. Wafat pada tahun 612 H.[7]
Adapun guru-guru Imam al-Qurthubī setelah ia
memutuskan untuk melakukan rihlah ‘ilmiyyah dan menetap di Mesir
diantaranya adalah:
1)
Ibnu
Rawwāj, yaitu
al-Imām Abū Muhammad ‘Abd al-Wahhāb bin Rawwāj. Nama aslinya Zhāfir bin Alī bin Futuh al-Azdī al-Iskandaranī al-Malikī. Beliau
wafat pada tahun 648 H.
2)
Ibnu
al-Jumaizī, yaitu
al-‘Allamah Baha’uddīn Abū al-Hasan ‘Alī bin Hibatullah bin Salamah al-Mashrī asy-Syafi’ī. Beliau wafat pada tahun 649 H dan merupakan
salah seorang ahli dalam bidang hadis, fikih dan ilmu qirā’at.
3)
Abū al-Abbās Ahmad
bin ‘Umar bin Ibrahīm
al-Malikī
al-Qurthubī, wafat
pada tahun 656 H. Beliau adalah penulis kitab al-Mufhim fī Syarh Shahīh Muslim.
4)
Al-Hasan
al-Bakari, yaitu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk at-Taimī al-Naisaburī al-Dimasyqī atau biasa dipanggil dengan nama Abū ‘Alī
Shadruddīn al-Bakari.
Beliau wafat pada tahun 656 H. [8]
5)
Abū Muhammad ‘Abd al-Mu’thī bin Mahmūd bin ‘Abd
al-Mu’thī bin ‘Abd
al-Khālik al-Lakhmī al-Iskandarī. Beliau wafat pada tahun 638 H di Mekkah.[9]
6)
Abū Bakar Muhammad bin Al-Walid dari Andalusia
yang mengajar di Madrasah al-Thurthusī.
7)
Abū Thāhir Ahmad bin Muhammad bin Ibrahīm
al-Ashfahānī.
8)
Abū Muhammad Rasyid al-Dīn ‘Abd al-Wahhāb bin
Dāfir, meninggal pada tahun 648 H.
9)
Abū al-Hasan ‘Alī bin Hibatullah bin Salamah
al-Lakhmī al-Mishrī al-Syafi’ī, meninggal pada tahun 649 H. Beliau dikenal
sebagai seorang Muftī al-Mukrī, al-Khātib al-Musnid.[10]
Adapun terkait aliran tauhid yang dianutnya
menurut Samsurrohman, Imam al-Qurthubī menganut aliran Asy’ariyah berdasarkan
penjelasan dalam kitabnya yang berjudul Al-Asnā fī Syarh Asmā Allah
al-Husnā. Di dalam kitab tersebut, ketika menjelaskan nama dan sifat-sifat
Allah beliau selalu berpegang kepada pendapat para imam yang beraliran
Asy’ariyah seperti al-Juwainī, al-Baqillanī, al-Razī, dan Ibnu ‘Athiyah. Selain
itu, Imam al-Qurthubī juga menolak keyakinan dan praktik ibadah kaum sufi yang
bertentangan dengan syariat.[11]
Kemudian mengenai paham keagamaan, Imam al-Qurthubī adalah seorang
mufassir besar dari kalangan Madzab Maliki di Andalusia.[12] Hal ini
dapat dipahami karena mayoritas pemerintah dan rakyat Andalusia adalah penganut
Madzhab Maliki yang taat.
3.
Karya-karya
Menurut Ibnu Farihūn sebagaimana yang dikutip
oleh Imam al-Dzahabī, bahwa tidak ada seorang penulis yang mampu menyusun kitab
sedemikian banyak dan baik sistematikanya sehingga begitu bermanfaat bagi
banyak orang sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Qurthubī.[13]
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil
karya Imam al-Qurthubī selain kitabnya yang berjudul Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān,
diantaranya adalah:
1.
Al-Tadzkirah
fī Ahwāl al-Maūt wa Umūr al-Ākhirāh. Kitab yang masih terus dicetak hingga sekarang
ini berisi tentang gambaran alam kubur, akhirat dan hari kiamat.
2.
Al-Tidzkār
fī Afdhāl al-Adzkār. Kitab ini juga termasuk dari karya Imam al-Qurthubī
yang masih dicetak hingga sekarang.
3.
Al-Asnā fī Syarh Asmā Allah al-Husnā.
4.
Syarh
al-Taqashshī.
5.
Al-I’lam
Bimā fī al-Dīn al-Nashārā Min al-Mafāshid wa al-Auham wa Izhar Mahāsin Dīn
al-Islām.
6.
Qam’u
al-Harsh bi al-Zuhd wa al-Qanā’ah.
7.
Risālah
fī Alqam al-Hadis.
8.
Kitab
al-Aqdhiyyah.
9.
Al-Mishbah
fī al-Jāmi’ Baina al-Af’āl wa al-Shahhah. Sebuah
kitab tentang bahasa arab yang merupakan hasil ringkasan Imam al-Qurthubī
terhadap kitab al-Af’āl karya
Abū Qāsim ‘Alī bin
Ja’far al-Qaththa’ dan kitab al-Shahhah karya al-Jauharī.
10.
Al-Muqtabas
fī Syarh
Muwaththa’ Mālik bin Anas.
11.
Al-Luma’
fī Syarh al-Isyrinat al-Nabawiyyah.[14]
[1] Muhammad
Husain Adz-Dzahabī, Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz 2 (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 336.
[2] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer di Belahan Barat Dunia
Islam” (Pati: Jurnal Hermeunetik, No. 2, Desember, VIII, 2014), hlm.
245.
[3] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer di Belahan Barat Dunia
Islam” (Pati: Jurnal Hermeunetik, No. 2, Desember, VIII, 2014), hlm.
245.
[4] Imam al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, terjemahan Fathurrahman
dkk, Tafsir al-Qurthubī Jilid 1 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. xv.
[5] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer di Belahan Barat Dunia
Islam” (Pati: Jurnal Hermeunetik, No. 2, Desember, VIII, 2014), hlm.
245.
[6] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer... hlm. 246.
[7] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:
Dar Ibnu Hazm, 1997), hlm. 5-6.
[8] Imam al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, terjemahan
Fathurrahman... hlm. xvii.
[9] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān... hlm.
6-7.
[10] Abū ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshorī al-Qurthubī, Al-Jāmi’ li
Ahkām Al-Qur’an Jilid 1, hlm. 18.
[11] Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Amzah, 2014), hlm.
226.
[12] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 174.
[13] Muhammad Husain Adz-Dzahabī... hlm. 336.
[14] Imam al-Qurthubī, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, terjemahan
Fathurrahman... hlm. xviii.
0 Comments