Metode dan Corak Penafsiran Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Kitab Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān merupakan salah satu kitab tafsir yang diterima
dengan baik dan dikenal luas di kalangan umat Islam. Kitab ini ditulis pada
abad ke-7 Hijriah dan merupakan karya terbesar dari ulama kenamaan asal Andalusia,
yaitu al-Qurthubī.
Al-Qurthubī menamai kitab tafsirnya tersebut dengan nama Al-Jāmi’
li Ahkām al-Qur’ān wa Mubayyin Limā Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqān.[1] Dari kitab
monumentalnya inilah nama al-Qurthubī kemudian dikenal luas di kalangan pengkaji Islam terutama dalam
kajian tafsir al-Qur’an.
Dalam muqaddimahnya Al-Qurthubī menyebutkan bahwa,
“al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang berisi tentang ilmu-ilmu syariat, yang
membahas mengenai hukum dan kewajiban. Allah menurunkan kitab tersebut kepada Āmīn
al-Ardh (Nabi Muhammad saw) melalui Āmīn al-Samā’ (malaikat Jibril).
Kitab tersebut benar-benar menyibukkanku dan begitu menguras tenagaku sepanjang
hidup, karena itu aku kemudian menulis komentar-komentar atau penjelasan
ringkas yang memuat intisari dari tafsir, bahasa, i’rāb, qirā’at,
penolakan terhadap orang-orang yang menyimpang dan sesat, menyebutkan banyak
hadis-hadis penguat tentang hukum-hukum dan sebab turunnya ayat secara lengkap
beserta makna-maknanya, serta menyebutkan perkataan-perkataan ulama salaf
dan khalaf sebagai penjelas atas sesuatu yang sulit dipahami.”[2]
Berikut akan dipaparkan secara lebih detail mengenai metode
penafsiran yang digunakan oleh al-Qurthubī dalam Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
beserta corak yang dihasilkan dari kitab tafsir tersebut.
1)
Metode Penafsiran
Metode yang dalam istilah Arab lazim
dikenal dengan sebutan al-Tharīqah merupakan suatu cara atau jalan dalam
hal ini cara ilmiah untuk dapat memahami atau mawas objek yang menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan.[3]
Dalam kaidah ilmu tafsir, terdapat
beberapa metode penafsiran yang biasa digunakan oleh para mufassir dalam
memahami al-Qur’an yang kesemuanya memiliki ciri-ciri tesendiri, seperti metode
tahlilī, ijmālī, muqarran dan maudhu’ī. Secara singkat dapat
dijelaskan bahwa metode tahlilī lebih mengedepankan analitis-kritis
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan berusaha mengungkapkan segala aspek yang
ada serta sistematika pembahasannya sesuai urutan mushaf al-Qur’an itu sendiri.
Berbeda dengan metode tahlilī yang berusaha menjelaskan ayat-ayat
al-Qur’an secara spesifik dan detail, metode ijmālī lebih fokus pada
penggalian makna-makna umum atau global yang terkandung dari suatu ayat,
sedangkan metode muqarran berusaha memahami suatu ayat dengan cara
mengkompromikan kandungan yang ada dari satu ayat terhadap ayat lainnya.
Terakhir adalah metode maudhu’ī yang mencoba memahami ayat-ayat
al-Qur’an berdasarkan tema yang ada dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang
sesuai dengan tema yang hendak dikaji tersebut.[4]
Kitab Al-Jāmi’
Li Ahkām Al-Qur’ān karya
al-Qurthubī merupakan sebuah kitab tafsir yang menggunakan metode tahlilī
sebagai metode utamanya. Ciri-ciri yang paling menonjol dari metode tahlilī adalah
konsistensi dan keluasan pembahasannya karena mengungkap berbagai aspek dalam
suatu ayat. Selain itu, penafsiran yang dilakukan sesuai dengan urutan ayat dan
surat di dalam al-Qur’an.[5]
Secara umum, dalam menafsirkan suatu ayat, al-Qurthubī
memulainya dengan pembahasan sebab turunnya ayat, perbeda’an qirā’at dan
i’rāb yang ada, penjelasan lafadz-lafadz asing, mengungkapkan
pendapat-pendapat yang ada beserta sumbernya, menyantumkan berita-berita dari
para ahli sejarah, mufassir sebelumnya dan mengutip pendapat ulama-ulama
terdahulu yang dapat dipercaya terutama dalam kaitannya dengan pembahasan hukum-hukum
tertentu. Ulama-ulama yang sering dirujuk pendapatnya diantaranya adalah Ibnu
Jarir, Ibnu ‘Athiyah, Ibn al-‘Arabī, al-Kiyā Harrāsyī dan Abū Bakar
al-Jasshāsh.[6]
Dalam mengkaji sebuah ayat, Al-Qurthubī biasanya mencoba menyuguhkan
beberapa persoalan yang berkembang dalam ayat tersebut yang kemudian disebutnya
sebagai mas’alah dalam berbagai aspek.
Menurut Nasharuddin Baidan, dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an al-Qurthubī terbiasa memulainya dengan mencari legitimasi
kepada pemahaman lughawī seperti kajian atas asal
usul kata, nahwu, i’rāb, i’lal,
semantik (makna) dan penggunaan puisi jahiliyyah sebagai basis pemaknaan
kata (Syawāhid Al-Syi’riyyah).[7]
Dari makna lughawī kemudian
beralih kepada makna teknis atau syar’ī yaitu
berkenaan dengan bagaimana pengamalannya oleh Nabi dan para sahabat Nabi saw.
Pola semacam ini memang merupakan sesuatu yang lazim diterapkan oleh para ahli
fikih guna menemukan istinbath hukum yang legitimate dan dapat
diterima oleh mayoritas umat dikarenakan argumen yang dijadikan alasan cukup
rasional dan didukung oleh pemahaman lughawī yang
jelas dan valid.[8]
Ketika membahas persoalan hukum dan penyebutan
informasi tentang Asbāb al-Nuzūl, al-Qurthubī
menggunakan riwayat-riwayat hadis sebagai salah satu landasannya. Akan tetapi,
ia secara konsisten selalu menyebutkan sumber-sumbernya secara jelas
sebagaimana ketika ia mengutip pendapat atau pandangan seseorang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kegelisahan al-Qurthubī atas banyaknya riwayat hadis termasuk di dalamnya hadis tentang fikih yang muncul tanpa
identitas periwayat di dalam kitab-kitab tafsir sebelumnya yang mana hal ini
dapat berpotensi menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman bagi para pembacanya.[9]
Bahkan, al-Qurthubī
terkadang menyebutkan sejumlah hadis palsu yang berkaitan dengan sebab turunnya
sejumlah ayat, seperti yang disebutkan oleh al-Naqqasy, al-Tsa’labī,
al-Qusyairī dan
banyak ahli tafsir tentang sebab turunnya Surat Al-Insān ayat
8. Menurut mereka ayat ini turun berkenaan dengan kisah ‘Alī, Fāthimah
dan budak perempuan mereka.
Dalam
riwayat tersebut diceritakan bahwa ‘Alī, Fāthimah beserta anak-anaknya kelaparan selama
tiga hari tiga malam dikarenakan makanan mereka telah habis diberikan kepada
orang miskin, anak yatim dan seorang tawanan perang yang datang ke rumah mereka
karena kelaparan dalam waktu tiga hari tersebut.
Menurut al-Qurthubī,
riwayat tersebut tidak shahīh dan juga tidak masuk akal karena mustahil ‘Alī r.a
akan memaksakan untuk memberi makan orang lain sementara keluarganya sendiri
kelaparan. ‘Alī r.a
tentu mengetahui bahwa sedekah yang paling baik adalah sedekah setelah
kecukupan.
Lebih
lanjut al-Qurthubī mengutip pendapat al-Tirmidzī
al-Hakīm Abū ‘Abdillah dalam Nawādir al-Ushūl. Ia berkata, “ini
adalah hadis yang dipalsukan, palakunya begitu pandai membuatnya sehingga para
pendengar dapat dikelabuinya, orang yang tidak tahu pasti akan berdecak kagum
melihat sikap ‘Alī r.a
dalam riwayat tersebut, padahal ia tidak tahu bahwa orang yang bersikap
demikian justru sangat tercela.”[10]
Selain itu, al-Qurthubī juga cenderung lebih
selektif terhadap riwayat-riwayat israilliyat. Hal ini dapat dilihat
dari terbebasnya penafsiran al-Qurthubī dari riwayat-riwayat israilliyat yang
berbicara mengenai beberapa kisah dalam al-Qur’an seperti
kisah Harūt dan Marūt, Nabi Dāwud dan Nabi Sulaimān serta kisah Gharāniq.[11]
Akan tetapi, ada sejumlah
cerita isra’iliyyat yang dilewatkan oleh al-Qurthubī seperti ketika
menafsirkan Surat Ghāfir ayat 7.
Ketika menjelaskan ayat tersebut, al-Qurthubī
menyebutkan sebuah riwayat yang tidak jelas sumbernya yang menyatakan bahwa
kaki-kaki para malaikat pemikul ‘arsy berada di bagian bumi paling bawah
sementara kepala-kepala mereka menyentuh ‘arsy.[12]
Kelebihan lain yang dimiliki oleh tafsir
al-Qurthubī adalah meskipun pada dasarnya kitab tersebut merupakan sebuah kitab
tafsir yang bercorak fikih, akan tetapi turut berpengaruh terhadap kitab-kitab
tafsir pada masa selanjutnya yang sebenarnya tidak bercorak fikih, seperti Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adhīm yang ditulis oleh Ibn Katsīr
(w.774 H) dan al-Shaukānī (w. 1350 H) dalam kitabnya Fath al-Qādīr baina Fannay al-Riwāyah wa al-Dirāyah fī ‘Ilm
al-Tafsīr.[13]
Dalam Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn,
al-Dzahabī menjelaskan, “Secara umum, dapat dikatakan
bahwa al-Qurthubī, telah bersikap objektif dalam menyampaikan
pembahasan-pembahasan yang ada dalam kitab tafsirnya, bersih dan tidak
tendensius dalam menyampaikan kritikan-kritikannya, menjauhi hal-hal yang tidak
etis ketika sedang berdiskusi atau berdebat, menaruh perhatian besar terhadap
ilmu tafsir dari berbagai aspeknya, serta mendalami setiap ilmu yang dipaparkan
dan dibicarakan di dalam kitabnya itu.”[14]
Sedangkan menurut Ibnu Farihūn sebagaimana yang dikutip oleh
al-Dzahabī, bahwa kitab Al-Jāmi’
li Ahkām al-Qur’ān termasuk kitab yang mulia dan
banyak manfaatnya, di dalamnya tidak dicantumkan kisah-kisah dan
sejarah-sejarah, sebaliknya mencantumkan hukum al-Qur’an dan istinbath
hukum, juga menyebutkan qirā’at, i’rāb dan nāsikh mansūkh.[15]
Lebih lanjut menurut Mannā’ al-Qaththān,
al-Qurthubī juga banyak melakukan kritikan secara halus dan adil kepada kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah
Rafidlah, para filosof dan kaum sufi yang ekstrem. Selain itu, terkadang ia
juga membela orang-orang yang dikritik oleh Ibn al-‘Arabī dan mengkritik balik
karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Meski begitu,
kritik-kritik yang dilontarkan oleh al-Qurthubī dilakukan dengan cara yang
bersih, sopan dan terhormat.[16]
Selain itu, meskipun tafsir al-Qurthubī lebih
condong pada pembahasan hukum-hukum fikih, namun di dalamnya tidak terbatas
pada kajian terhadap ayat-ayat yang berimplikasi hukum semata melainkan
membahasnya secara lengkap dan komprehensif termasuk di dalamnya ayat-ayat yang
berkaitan dengan alam akhirat.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa sistematika penafsiran Tafsir al-Qurthubī secara konsisten dan
berurutan adalah sebagai berikut:
1.
Menyebutkan satu atau beberapa ayat yang hendak
ditafsirkan.
2.
Menyebutkan riwayat mengenai sebab turunnya
ayat jika ada.
3.
Menyebutkan penafsiran kalimat per kalimat dari
segi bahasa.
4.
Menyebutkan pendapat para ulama bahasa tentang
penafsiran kalimat per kalimat tersebut.
5.
Menyebutkan perbedaan i’rāb dan qirā’at
yang ada di kalangan ulama ahli qirā’at.
6.
Menjelaskan lafadz-lafadz asing jika ada.
7.
Menyebutkan sya’ir-sya’ir Arab pada masa
jahiliyyah.
8.
Membagi penafsirannya dalam berbagai persoalan
atau mas’alah.
9.
Menyebutkan pendapat para ulama mengenai
persoalan yang dibahas, termasuk pendapat dari para mufassir sebelumnya.
10.
Mengomentari perbedaan pendapat yang terjadi
diantara para ulama.
[1] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 8.
[2] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 7.
[3] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 378.
[4] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:
Teras, 2010), hlm. 41.
[5] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 381.
[6] Muhammad Husain Al-Dzahabī, Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz 2 (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 338.
[7] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm. 417.
[8] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir... hlm. 418.
[9] Imam al-Qurthubī, Muqaddimah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 8.
[10] Imam al-Qurthubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 21 (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 466.
[11] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer... hlm. 248.
[12] Imam al-Qurthubī, Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān Juz 18 (Beirut:
Muassasah al-Risālah, 2006), hlm. 330.
[13] Ainaul Mardhiyah, “Melacak Penafsiran Kontemporer... hlm. 248.
[14] Muhammad Husain Al-Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirūn Juz 2 (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2003), hlm. 341.
[15] Muhammad Husain Adz-Dzahabi... hlm. 336.
[16] Syaikh Mannā’ Al-Qaththān, Mabāhits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, terjemahan
Aunur Rafiq El-Mazni dkk, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), hlm. 472.
0 Comments