"Nggondel Sarung Kiai", atau "Berharap penuh
pada syafaat ulama" adalah sebuah kalimat yang sering dilontarkan oleh
para santri. Kalimat ini merupakan kalimat yang menggambarkan kepatuhan,
kecintaan, dan pengharapan penuh seorang santri kepada kiainya.
Ia merupakan kalimat yang berisi ketawadhuan yang lahir dari
mujahadah santri bersama sang kiai. Ketika seorang santri melihat tingginya
istiqomah, kasih sayang, dan derajat sang kiai, maka kalimat ini akan muncul
dengan tulus dan ikhlas dari kedalaman hati.
Akan tetapi, kalimat ini sering disalah artikan dengan
berpangku tangan dan pasrah kepada kiainya. Banyak orang yang tidak mau menata
hidupnya dan menata ibadahnya menggunakan kalimat ini. Ada semacam pembelokan
makna di dalam kalimat ini, yang awalnya berupa ketawadhu'an, menjadi
legitimasi rasa malas untuk beribadah. Parahnya, kita yang malas beribadah ini
merasa cukup bisa selamat dengan topeng "nggondel sarung kiai"
Jangan sampai kita tertipu oleh makna yang diselewengkan setan, sehingga kalimat ini menjadi kalimat yang haqq, benar, namun dipergunakan untuk sesuatu yang bathil atau salah.
Tentu, mencintai ulama tidaklah salah. Bahkan, sangat bagus
sekali. Akan tetapi, kita perlu tahu bahwa "nggondel sarung kiai" pun
ada caranya, ada tata caranya. Jangan sampai kita tertipu oleh makna yang
diselewengkan setan, sehingga kalimat ini menjadi "kalimat yang haqq,
benar, namun dipergunakan untuk sesuatu yang bathil atau salah."
Salah seorang sahabat Nabi, Rabi'ah bin Ka'b Al Aslamy,
pernah ditawari Nabi, "Mintalah sesuatu." Rabi'ah adalah seorang
"abdi dalem" Nabi yang sedari kecil sudah melayani Nabi. Beliau
sering memperhatikan Nabi, baik siang maupun malam, menyiapkan wudhu untuk
Nabi, dan mengawal perjalanan Nabi. Mari kita simak, apa keinginan beliau
ketika ditawari oleh penghulu sekalian alam ini.
"As-aluka. Aku memohon kepadamu, wahai Rasul.",
jawab Rabi'ah, "Muraafaqataka fil Jannah. Agar aku bisa menemanimu di
surga." Sebuah permintaan yang sangat sederhana, namun menunjukkan
keimanan dan kecintaan beliau kepada Rasulullah. Meskipun Nabi menawarinya hal
yang lain, Rabi'ah tetap meminta hal yang sama. Hebatnya, dengan kasih sayang
dan ketawadhu'an Rasulullah, Rasul justru menjawab, "Fa-a'innii 'alaa
nafsika bikatsratis sujuud. Kalau begitu, tolonglah aku atas dirimu dengan
memperbanyak sujud (shalat)."
Shahih Imam Muslim (no. 489), Sunan Imam Abu Dawud (no.
1320), dan Sunan An-Nasa-i (no. 1138).
Bayangkan, padahal Rasul adalah pemilik Syafaat yang sangat
besar di hari kiamat. Beliau bisa saja mengiyakan permintaan Rabi'ah tanpa
syarat apapun. Akan tetapi, itu tidak beliau lakukan. Rasulullah tetap meminta
Rabi'ah untuk memperbanyak ibadah, alih alih hanya berpangku tangan dengan
"nggondel jubah Kanjeng Nabi."
Jika yang meminta sahabat Nabi saja tetap harus menggiatkan
ibadahnya sendiri, apalagi kita yang masih penuh salah dan dosa ini. Tentu,
kecintaan kita kepada guru, kepada ulama, kepada kiai tidak boleh luntur hanya
karena amal yang sudah kita lakukan, padahal tidak seberapa ini.
Hanya saja, mari kita letakkan kalimat "nggondel sarung kiai" ke tempat yang semestinya, berupa kalimat ketawadhuan, yang mana meskipun kita telah lelah berusaha beramal, namun tetap membutuhkan syafaat guru-guru kita, hingga syafaat Nabi. Meskipun kita sudah berpayah-payah mengerjakan ibadah apapun yang bisa kita lakukan, sudah shalat, puasa, bersedekah, mengaji, mondok, belajar, bahkan haji dan umrah, kita tetap merasa perlu untuk berharap kepada para guru dengan mengucapkan:
"Nggondel sarung kiai."
Wallaahu a'lam bish showwaab
Penulis : Muhammad Ibnu Salamah
0 Comments