Foto : Mukhlisul Ibad |
Dalam proses beragama, kita sering mendengarkan ceramah dai,
kiai, ustadz yang memberi semangat kepada kita untuk beramal kebaikan, baik itu
ibadah murni kepada Allah seperti shalat dan puasa, atau pun ibadah sosial
seperti zakat dan sedekah. Mendengar ceramah-ceramah para beliau, kita menjadi
termotivasi untuk beramal, meningkatkan ketaatan, dan ketakwaan kita kepada
Allah demi meraih ridha Allah, masuk ke dalam surga milik Allah, dan jauh dari
siksa neraka Allah.
Dalam proses beramal itu, kita mungkin merasa bahwa
pengetahuan kita mengenai fadhilah amal adalah penyebab kita menjadi semangat
beramal. Kita lalu senang dengan kajian-kajian yang membahas mengenai fadhail
amal (keutamaan-keutamaan amal), tentang pintu surga, dan lain sebagainya agar
kita menjadi semakin giat beramal mendekatkan diri kepada Allah.
Tentu saja, ilmu memang menjadi pondasi kita beramal.
Tentu saja, ilmu memang menjadi pondasi kita beramal. Kita
sering mendengar, tanpa ilmu, maka amal kita tertolak. Dengan ilmu, kita
menjadi semangat beribadah. Berkat menuntut ilmu pula, kita menjadi orang yang
didoakan malaikat, ikan-ikan di lautan, sehingga semakin besar dan kokoh
kemantapan kita dalam meniti jalan ketakwaan kepada Allah.
Pertanyaannya, apakah
ilmu merupakan sebab utama kita menjadi pribadi yang taat kepada Allah?
Jawabannya, mari kita telaah dalam tulisan di bawah ini
Salah satu wirid yang
diajarkan oleh guru-guru kita adalah memperbanyak ucapan "laa haula wa laa
quwwata illaa billaah." Kalimat ini, jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, biasanya dimaknai "Tiada daya dan upaya melainkan dengan
pertolongan Allah." Apakah terjemahan bahasa Indonesia ini sudah sukses
menancapkan kalimat tersebut di dalam diri kita? Jika belum, mari kita
ingat-ingat lagi makna yang diajarkan guru-guru kita dalam bahasa Jawa
Laa haula dimaknai "Ora ana doyo sumingkir andoh songko
maksiat. "(Tidak ada daya dalam menjauhi maksiat), dan wa laa quwwata
dimaknai "lan ora ana kekuatan nglakoni ibadah." (Tidak ada kekuatan
dalam melaksanakan ibadah)
Jadi, lengkapnya, laa haula wa laa quwwata illaa billaah
dimaknai "Tidak ada daya menjauhi maksiat dan tidak ada kemampuan atau
kekuatan dalam melaksanakan ibadah kecuali dengan pertolongan Allah."
K.H. Mahrus Chudlori,
Pengasuh Ponpes Nurul Huda Simbang Kulon, Buaran, Pekalongan, memberikan
penjelasan mengenai makna kalimat ini
"Pada hakikatnya.", menurut beliau, "Manusia
pasti ingin melaksanakan maksiat. Itu yang dimaksud 'ora ana doyo sumingkir
saking maksiat.' Maka, ketika ia tidak bermaksiat, itu karena pertolongan
Allah. Kemudian, ketika manusia dijauhkan dari maksiat, lalu melaksanakan
ibadah, itu juga karena pertolongan Allah."
Begitu jelinya
kiai-kiai kita dalam memberikan makna kalimat sederhana ini. Di mana akhirnya
kita, dengan logika penjelasan di atas, akan memahami bahwa hakikat kita adalah
ingin selalu durhaka kepada Allah, bahkan tidak ingin melaksanakan ketaatan
kepada-Nya. Akan tetapi, dengan pertolongan-Nya, dengan kasih sayang-Nya, kita
menjadi pribadi-pribadi yang berusaha menjadi lebih baik. Sungguh, itu bukan
karena pengetahuan kita, ilmu kita, kemampuan kita, namun murni karena
pertolongan dan kasih sayang Allah.
Akhir kata, dengan
pemahaman di atas, seharusnya kita dijauhkan dari sifat sombong dalam beramal,
dan putus asa dari rahmat Allah ketika tergelincir melakukan dosa. Siapapun
orangnya, manusianya, selama dia masih terus berharap kepada Allah, meminta
petunjuk Allah, dan menepis kesombongan akan amalnya karena Allah, maka dia pun
akan selamat dunia dan akhirat, juga dengan pertolongan Allah. In syaa Allaah
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah
Wallaahu A'lam bish showwab
Penulis : Muhammad Ibnu Salamah
0 Comments