Sebuah organisasi bisa terjebak dalam kejumudan, tumpul, tak terarah, bahkan tak melakukan apa-apa selain mengeloni SK Kepengurusan. Menurut hasil survey Alvara terbaru, 36% populasi Muslim di Indonesia mengaku sebagai anggota NU, lebih 50% berafiliasi kepada NU dan sekitar 70% menempatkan NU pada “top of mind” mereka. Dengan rentang pengaruh seluas itu, NU dalam posisi memikul tanggung jawab terbesar dalam mengukir wajah masyarakat. Kalau NU membiarkan diri sekedar menjadi obyek yang larut saja dalam arus agenda-agenda yang dibuat entah siapa di luar sana, tanpa kehendak apalagi kemampuan untuk bernegosiasi secara desisif agar ikut menentukan arah dinamika masyarakat, sama halnya NU menyia-nyiakan amanah yang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah diletakkan ke pundaknya.
NU harus berjuang membangun kapasitas untuk hadir secara lebih bermakna di tengah masyarakat. Untuk itu, NU harus sungguh memahami jati dirinya, memahami kedudukannya di tengah keseluruhan konstelasi dan dinamika masyarakat, memahami kepentingan-kepentingannya, memahami tujuan, membangun strategi, menetapkan target-target dan agenda-agenda.
JAM'IYYAH DIINIYYAH IJTIMAA'IYYAH
Pola pikir orang NU di berbagai tingkatan, baik pengurus maupun warga, didominasi oleh wawasan yang menjadikan hampir seluruh energi dicurahkan untuk kepedulian keagamaan, sementara masalah-masalah sosial-ekonomi dan berbagai hal yang menyangkut hajat hidup masyarakat kurang mendapat perhatian. Padalah telah dinyatakan bahwa khidmah NU harus memiliki dimensi ganda, yaitu keagamaan dan kemasyarakatan.
Lebih memprihatinkan lagi, wawasan tentang khidmah keagamaan pun cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok. Dominasi pola pikir ini menjadikan NU sensitif terhadap isu-isu sektarian (pertentangan antar-madzhab) tapi kurang tanggap terhadap masalah-masalah masyarakat yang dianggap bukan masalah agama.
Wacana dan kegiatan-kegiatan menentang radikalisme disambut dengan penuh semangat bukan semata-mata karena kesadaran tentang bahaya radikalisme itu sendiri, tapi dibayang-bayangi juga oleh gairah menegaskan identitas keagamaan di hadapan kelompok madzhab yang berbeda. Sementara itu, isu-isu “duniawi” yang tak kalah penting, seperti kebutuhan koreksi terhadap struktur ekonomi yang timpang, pengendalian kerusakan alam akibat eksploitasi ekonomi, sistem hukum yang digerogoti korupsi, kebangkrutan etika dan moral dalam politik, dan sebagainya, nyaris tak mendapatkan perhatian.
Orang NU harus mengembalikan pola pikir kepada idealisme yang mula-mula sebagai jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah, organisasi keagamaan serta kemasyarakatan. Mengembalikan keseimbangan antara kepedulian terhadap masalah-masalah keagamaan dan kepedulian terhadap masalah-masalah kemasyarakatan.
KEWARGAAN, KEPENTINGAN, DAN KHIDMAH INKLUSIF
Ketimpangan dalam wawasan pengabdian NU berakar pada seluk-beluk (nature) kewargaannya. NU tidak memiliki sistem keanggotaan terdaftar. Tidak juga ada prasyarat-prasyarat yang dilembagakan secara resmi bagi kualifikasi keanggotaannya. Maka, apakah seseorang adalah anggota NU atau bukan, lebih tergantung pada perasaan masing-masing.
Di tengah gelaran masyarakat umum yang heterogen, keberadaan warga NU pun tidak menghadirkan kategori sosial apa pun. Dengan demikian, ketika muncul pertanyaan tentang kepentingan sosial-ekonomi warga NU, misalnya, tidak ada cara untuk mengidentifikasinya karena tidak ada indentifikasi subyek. Kalau subyeknya tidak diketahui, bagaimana mungkin menyimpulkan kepentingannya?
Pernyataan-pernyataan bahwa penduduk miskin itu orang NU, petani itu NU, yang tingkat pendidikannya rendah orang NU, yang terpinggirkan orang NU, dan semacamnya, lebih merupakan prasangka-prasangka belaka.
Dalam ketidakjelasan tersebut, satu-satunya yang masuk akal untuk dipersepsikan sebagai dasar kepentingan NU adalah identitas keagamaannya, yakni Islam berikut embel-embel madzhabnya, yang dalam tataran sosial jelas lebih berfungsi simbolik ketimbang operasional. Maka, wajar apabila segala artikulasi dan gerak-gerik NU hanya beredar di seputar identitas simbolik tersebut. Bahkan proyek-proyek yang diklaim sebagai wujud pengabdian sosial pun terbit dari motivasi menghadirkan identitas simbolik, dengan orientasi yang kurang-lebih supremasis.
Atmosfer di atas pada gilirannya memupuk dua gejala utama dalam dinamika aktivisme NU. Di lingkungan masyarakat yang kehadiran budaya NU-nya kuat, seperti di Jawa dan beberapa propinsi di luarnya, identitas simbolik NU diperalat sebagai senjata untuk menggalang dukungan politik. Sebaliknya di lingkungan masyarakat yang sepi-NU, para aktivisnya tidak dapat menemukan gagasan tentang apa yang bisa diperbuat, karena tidak dapat mengenali warganya, apalagi memobilisasi mereka. Kepengurusan tanpa bukti keberadaan selain SK—bahkan papan nama pun tak punya—tidak sedikit jumlahnya.
Telah disinggung di atas bahwa, dalam konteks Indonesia, NU secara keseluruhan memiliki rentang pengaruh yang luas, yang harus dilihat sebagai porsi tanggung jawab besar NU terhadap masyarakat. Dalam wawasan ini, aktivisme NU seharusnya tidak hanya diarahkan untuk mengumpulkan dan memupuk keuntungan bagi diri sendiri, tapi harus diorientasikan kepada kemaslahatan masyarakat secara kesuruhan. Operasionalisasi prinsip ini dapat menjadi jalan keluar baik dari bahaya politisasi NU maupun dari bencana kematian organisasi.
Dengan mengorientasikan khidmah secara inklusif bagi kemaslahatan seluruh masyarakat tanpa pandang bulu, NU melepaskan egoisme identitasnya. Aktivisme diarahkan kepada pemecahan masalah-masalah nyata di lingkungannya. Kebutuhan partisipasi politik pun—baik dukungan maupun evaluasi—akan dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai isu-isu aspiratif yang substansial, bukan tribalisme identitas.
NU tidak perlu susah-payah memilah-milah, mana yang warga NU mana yang bukan, untuk melibatkan diri dalam pemecahan masalah yang nyata di lingkungannya. Masalah apa pun, menyangkut siapa pun, asalkan secara normatif menyeyogyakan pelibatan NU dalam upaya pemecahannya, maka NU harus turun tangan. Dengan demikian, di tengah masyarakat yang secara alami penuh masalah ini, mustahil para aktivis NU kekurangan gagasan untuk bergerak.
Selanjutnya harus disadari pula bahwa pilihan untuk melibatkan diri dalam upaya pemecahan masalah masyarakat pada gilirannya akan bersirobok dengan pilihan pihak. Kepada siapa NU harus berpihak, itu adalah pilihan normatif. Lantas, dari mana sumber normanya? Tentu saja dari nilai-nilai luhur Islam ala Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An Nahdliyyah yang pasti akan memendarkan panduan-panduan bernas, asalkan tidak dibonsai dan dikotakkan menjadi sekedar simbol-simbol ritual dan kutipan-kutipan dangkal.
Dengan tuntutan kebutuhan yang muncul, wacana tentang pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah An Nahdliyyah akan berkembang lebih subur dan segar sebagai wawasan kontekstual. Alangkah agung kehadirannya ketika istighotsah kubro dan majlis sholawat tidak dipandang lebih aswaja ketimbang advokasi hak-hak rakyat Papua, misalnya, atau kerja bakti membersihkan kali.
Jelas bahwa untuk menjadikan gambaran di atas manifes dalam dinamika NU, terlebih dahulu pola pikir para aktivis NU harus ditransformasikan. Dan untuk itu diperlukan strategi tersendiri. [ ]
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf
0 Comments