Muhammad Ibnu Salamah
.
Syahdan, dalam kesendiriannya, Nabi Musa diangkat menjadi Nabi dan Rasul Allah, serta bonus menjadi kalimulLaah, atau 'orang yang dapat berbicara langsung dengan Allah'.
.
Salah satu dialog yang terkenal di dalam Al Quran adalah ketika Allah bertanya, "Apa yang ada di tanganmu, wahai Musa?"
.
Alih-alih menjawab "Ini adalah tongkatku.", beliau malah menjawab dengan jawaban yang panjang: "Ini adalah tongkatku. Aku bersandar padanya. Dengannya, aku pukul daun-daunan untuk makanan kambing-kambingku. Dan bagiku, ada tujuan lain yang berkenaan dengannya."
.
Ah. Dialog yang indah. Nabi Musa dapat saja berkata pendek "Ini tongkatku, Ya Allah." Sudah. Tapi beliau menjawab panjang. Apakah ini tanda bahwa beliau suka berdebat, dan ingin dihargai perkataannya?
.
Bukan begitu. Ah. Andaikan kita tahu perasaan Nabi Musa waktu itu. Perasaan seorang hamba yang sedang memadu kasih dengan Allahnya. Hingga, andaikan kita yang ditanya seperti beliau, "Apa yang ada di tanganmu?"
.
Sungguh, kita akan menjawab dengan jawaban yang mungkin lebih panjang. Karena berdialog dengan Allah itu begitu nikmat. Bercengkrama dengan Allah begitu dahsyat. Mengingat Allah saja begitu lezat, apalagi mendengar langsung suara indah-Nya?
.
Kawan. Musa hanya ingin berlama-lama berkhalwat dengan Tuhannya. Ia hanya ingin Allah semakin memperhatikannya. Ia panjangkankan kalimatnya. Ia nikmati tiap detik pertemuan dengan Allah. Ia tak sia-siakan dialog itu dengan hanya dialog singkat, namun berisi dialong penuh cinta, penuh makna, penuh cahaya.
.
Ah. Bagaimana dengan kita yang enggan berdialog dengan Allah, padahal Dia cinta mendengar keluh kesah hamba-hamba-Nya.
.
Wallaahu A'lam
Share This :
0 Comments